Dear Boys…

Sepucuk surat untuk para pengembara berdendang

Dear Boys…

Waktu itu ku lihat kalian bermain-main dengan melodi. Menari dalam simfoni. Bersyair di alam cerita. Uh.. nampaknya dunia kalian senada dengan duniaku, begitu ujar benakku.

Kalian menggambar sayap dengan kapur dan aku percaya kita bisa terbang dengannya. Ku pikir kita sama, memelihara bocah tersembunyi jauh di antara dunia orang dewasa.

Kemudian kalian bilang semua ini hanya mobil mainan, yang tidak dapat membuat kalian keluar bahkan dari pekarangan rumah sekalipun. Kalian bilang ingin berjalan di aspal. Aku terdiam. Ada petir menyambar-nyambar dari dalam tubuh. Sedetik aku kecewa, tapi kemudian aku bertanya, mungkin juga tersadar. Semua ini hanya permainan.

Kalian ingin menjadi dewasa, itu yang ku tangkap. Apa memang ini waktunya untuk Kalian, Aku, Kita untuk menjadi dewasa?

Entahlah, aku masih malas untuk memikirkannya.

Jika memang kalian akan meninggalkan mobil mainan itu, bolehkah aku memilikinya? Karena mungkin aku masih belum mau pergi, jadi biarkan aku terus bermain dengan mobil ini.

Kemana perginya kereta yang membawa bocah-bocah yang tidak bisa menjadi dewasa. Kemana larinya srigala penanam bunga yang ditinggal pergi kekasihnya. Kemana paus putih yang berteriak dalam hening itu berkelana….

Akan kunantikan kembalinya para pengembara yang mencari semanggi berdaun empat. Tentunya setelah merka tumbuh menjadi dewasa.

Hujan Aroma Rindu

Hujan pembawa aroma rindu

Membuatku candu lagi akan sosokmu

Ribuan air mata memudarkan warnamu

Kamu tinggal bayangan kelabu

Tak indah bayangmu di benakku

Tapi kabut hujan membuat ilusi syahdu

Denting Koto dan Shamisen mengiris sendu

Membawa benak menyusur bayangmu

Aku merasakanmu dalam aroma hujan